Bogor, Jurnaliswarga.id – Hari Guru, mengingatkan saya untuk membaca sebuah tulisan tangan (bukan ketikan) yang termuat sebagai artikel terakhir dari DBR jilid 1, berjudul “Menjadi Guru Dimasa Kebangunan”.
Membacanya membuat saya tergetar, betapa tidak! Bung Proklamator menuliskan betapa hebatnya menjadi pemimpin di dalam sekolah, guru memiliki arti yang spesial yakni “Pembentuk Akal dan Jiwa Anak-anak”, itu artinya guru memiliki peran besar dalam pembentukkan manusia di masa kebangunan, bahwa hari kemudiannya manusia di tentukan di tangan guru, apakah ia akan menjadi manusia yg berguna atau tidak bagi bangsa yang bercita-cita menjadi bangsa yang besar.
Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak” hijau, guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak” hitam, guru merah akan “beranak” merah.
Sebuah perguruan dimanapun sebenarnya adalah gambaran masyarakat itu sendiri.
Sesuatu bangsa harusnya mengajar dirinya sendiri, sesuatu bangsa hanyalah dapat mengajarkan apa yang terkandung di dalam jiwanya sendiri.
Bangsa budak belian akan mendidik anak-anaknya di dalam roh perhambaan dan penjilatan. Bangsa orang merdeka akan mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang merdeka.
Bangsa monarchist akan mendidik anak-anaknya menjadi onderdaan-onderdaan.
Bangsa republiken akan mendidik anak-anaknya menjadi burgers.
Bangsa yang dikungkung oleh kapitalisme, yang terpecah belah di dalam kelas-kelas yang memusuhi satu sama lain, akan menunjukkan di dalam perguruannya semua perpecahbelahan, semua pertikaian, semua nafsu-nafsunya penderitaan dan perjuangan, semua kuman-kumannya devide et impera.
Sampai disini pikiran saya menerawang, betapa tidak! kini kami entah dengan sadar atau tidak tengah menjebakkan diri atau terjebak atau bahkan dijebak untuk hidup tidak dalam persatuan.
Duh… Bung! Di negeri kami kini kuman-kuman devide it impera masih saja melenggang merdeka, sementara kami malah asik memelihara kuman-kuman perpecahan itu dengan seribu alasan yang memabukkan.
Maafkan kami Bung, jika kami lupa bahkan tak tahu ajaranmu tentang pentingnya karakter bangsa, tentang roh dasar “Tiga Soko Guru” (roh kerakyatan, roh kemerdekaan, roh kekesatriaan) yang harusnya menjadi api keramat kami punya jiwa, menjadi wahyu penghebat hidup, Wahyu Cakraningrat yang manjing di dalam sukma kami.
Betapa penghianatan terhadap Tiga Soko Guru tsb dengan menganggapnya sebagai teori tua bangka, kolot dan tidak laku, dicemooh dan ditertawakan, dianggap tidak bisa lagi mengikuti kehendak jaman, tengah kami saksikan,
Kerakyatan didurhakai oleh fasisme, diktator, dan absolutisme;
Kemerdekaan didurhakai dengan imperialisme, teror, pengekangan pikiran merdeka, perbudakan, politik dan ekonomi;
Kekesatrian diinjak-injak dan dilempar jauh-jauh, diganti dengan pengecutan, penjilatan, kepalsuan, dan pendurhakaan.
Alangkah dahsyatnya kebencanaan batin ini.
#refleksidiri
#hariguru