Makassar, (JW) – Beberapa hari lalu, yang sempat viral di media sosial dan media massa elektronik yang memperrunjukkan adanya sekumpulan pendeta-pendeta Gereja Pentakosta di Indonesia dari berbagai daerah melakukan unjuk rasa ( aksi demo) dikantor majelis Pusat GPdI ,Jl. Sunter Agung Jakarta Utara. Mereka datang secara tertib dan menyampaikan beberapa tuntutan kepada Ketua Umum atas berbagai dugaan kasus pelanggaran AD/ART yang telah dilakukan oleh pimpinan yang dianggap merugikan kepentingan para pendeta pada khususnya dan organisasi GPdI secara keseluruhan.
Salah satu poin penting yang memicu pelaksanaan unjuk rasa (aksi demo) tersebut adalah adanya penunjukan Ketua Majelis Daerah ( Ketua MD) yang inkonstitusional karena menyalahi AD/ ART GPdI khususnya pada ketentuan BAB VI Pasal 13 angka 3 huruf b yang menyatakan bahwa Ketua Majelis Daerah dipilih melalui Musyarah Daerah.

Dr. dr. Ampera Matippanna, S. Ked. MH (Anggota Jemaat GPdI EL. Shadai Makassar)
Penunjukan dan Penetapan Ketua Majelis Daerah oleh Ketua Umum tanpa melalui mekanisme Musda menuai protes dan kritikan tajam dari kalangan pendeta dan jemaat yang terhimpun dalam organisasi gereja tersebut
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh penulis, ternyata para pendeta tersebut telah melakukan berapa langkah persuasif antara lain menyurati Ketua Umum untuk meninjau Surat Keputusan Penetapan Ketua MD tanpa melalui Musda, menyurati Ketua Majelis Pertimbangan Rohani agar permasalahan mereka direspon secara positif oleh ketua Umum. Bahkan ironisnya Protes dan kritikan para pendeta tersebut diganjar dengan SK Pemecatan. Hal inilah yang mendorong para pendeta untuk menyampaikan aspirasinya secara terbuka ( aksi demo) agar keluhan-keluhan mereka mendapatkan respon dari ketua Umum.
Namun sangat disayangkan bahwa aksi demo para pendeta tersebut tidak ditanggapi oleh pihak Ketua Umum. Tak seorangpun dari pihak tersebut yang datang menemui pihak pendemo.
Menyikapi aksi demo dikalangan pendeta yang termasuk langka dan untuk pertama kalinya dilakukan secara terbuka sangatlah dipahamami jika ada pihak yang pro dan kontra. Bagi pihak yang pro mendukung aksi demo tersebut sebagai pilihan terakhir dari perjuangan mereka untuk memperjuangkan kepentingannya dan mmempertahankan hak-haknya, sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa aksi demo tersebut adalah hal yang tidak etis bagi kalangan pendeta yang nota bene adalah orang-orang yang dipilih dan diurapi Tuhan baik sebagai pendeta gembala jemaat maupun sebagai pimpinan organisasasi sehingga dipandang mempermalukan nama Tuhan.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, penulis sebagai warga jemaat gereja Pantekosta di Indonesia berpendapat bahwa :
1. Aksi demo pendeta GPdI dalam memperjuangkan kepentingan dan mempertahankan hak-haknya adalah hal yang patut dan wajar, meskipun tidak diatur dalam AD/ART GPdI. Mengapa demikian? Karena aksi demo atau unjuk rasa dalam menyampai aspirasi dimuka umum merupakan salah satu hal konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945 , sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Aksi demo para pendeta merupakan pilihan terakhir setelah berbagai langkah yang dilakukan baik menurut aturan Firman Allah maupun aturan organisasi. Aksi demo tersebut dilaksanakan oleh karena adanya kebuntuan penyaluran aspirasi karena tidak diaturnya dengan baik sistem atau mekanisme pengawasan dan penyelesaian konflik dilingkup internal organisasi.
AD/ ART organisasi GPdI 2012 yang berlaku sampai saat ini cenderung melahirkan kepemimpinan yang otoriter. Apalagi ditunjang oleh adanya pemahaman bahwa pimpinan adalah wakil Allah yang dipilih oleh Allah sehingga tidak dapat diusik. Pada umumnya sebagian pendeta berpendapat cara yang terbaik adalah mendukung dan mendoakan sekalipun mungkin ada pelanggaran AD/ ART dan pelanggaran hukum yang berlaku di negara ini.
3. Banyaknya dugaan kasus pelanggaran AD/ART yang dilakukan oleh Ketua Umum karena tidak efektifnya peran dan fungsi Majelis Pertimbangan rohani (MPR) karena secara subtantif dalam AD/ART menempatkan posisi MPR lebih dibawah dari ketua umum, sehingga apapun rekomendasi atau bahan pertimbangan dari ketua MPR, tidak menjadi kewajiban dari ketum untuk melaksanakanya. Padahal secara faktual baik ketum maupun ketua MPR dipilih secara langsung dan terpisah. Idealnya mereka seharus nya sejajar dengan tupoksi yang berbeda, saling mendukung dan saling menghargai bukan kompetitor diantara mereka
4. Salah satu poin kunci mengapa dugaan-dugaan kasus pelanggaran AD/ART terus berlangsung karena adanya salah satu pasal dalam AD/ART yang bersifat larangan bagi HT untuk melakukan penyelesaian konflik secara eksternal ( tanah hukum), sehingga Ketum semakin bebas untuk melakukan kebijakan tanpa harus merasa kuatir adanya gugatan atau tuntutan hukum dari pihak-pihak yang kepentingannya dirugikan. Sebutlah misalnya dugaan kecurangan dalam pemilihan ketua umum yang diposting secara vulgar oleh salah seorang pendukung ketum yang mengakui merobek beberapa kertas suara untuk kemenangan ketum saat ini. Hal tersebut tentunya bukan hanya pelanggaran etis tapi juga merupakan pelanggaran hukum. Namun mengapa tidak disoal? Salah satu penyebabnya adalah pasal larangan tersebut yang dapat dijadikan alasan untuk memberi sanksi kepada pelapor. Kemudian secara internal siapa yang berwenang untuk meminta pertanggung jawaban ketum?
Sehungan dengan aksi demo tersebut, tidak heran jika para pendeta segera diadakan musyawarah besar luar biasa ( mubeslub) agar sesegera mungkin dilakukan amandemen AD/ART organisasi gereja GPdI.
Dibagian akhir dari tulisan ini saya ingin menyampaikan salut terhadap para pendeta yang telah berani melakukan aksi demo sebagai bentuk gerakan sosial atas keterkungkungan AD/ART yang digunakan sebagai senjata untuk membungkam mereka. Mungkin kedepannya juga akan memiliki keberanian untuk melaporkan dugaan kasus pelanggaran AD/ART yang berimplikasi hukum ke pihak yang berwenang dari pada tinggal diam menerima resiko.(Red/NR)
Penulis : Dr. dr. Ampera Matippanna, S. Ked. MH (Anggota Jemaat GPdI EL. Shadai Makassar)