Jakarta, Jurnaliswarga.id – Pemberian Surat Izin Usaha Pertambangan (SIUP) kepada perguruan tinggi memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap dapat mendorong riset dan inovasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa perguruan tinggi justru dijadikan perpanjangan tangan oligarki dalam industri pertambangan.
Peluang: Ilmu untuk Kemajuan atau Legitimasi Bisnis?
Perguruan tinggi memiliki kapasitas dalam riset dan teknologi yang dapat membantu pengembangan metode ekstraksi yang lebih ramah lingkungan serta restorasi lahan pascatambang. Selain itu, keterlibatan langsung dunia akademik dalam industri ini dinilai dapat memperkuat sinergi antara pendidikan dan dunia usaha.
Namun, apakah perguruan tinggi benar-benar diberikan ruang untuk berinovasi, ataukah hanya dijadikan alat bagi kepentingan korporasi besar yang ingin mendapatkan legitimasi akademik untuk ekspansi tambang mereka?
Risiko: Konflik Kepentingan dan Ancaman Lingkungan
Terdapat sejumlah risiko besar yang mengintai jika perguruan tinggi diberikan izin tambang:
1. Konflik Kepentingan – Perguruan tinggi yang seharusnya berfokus pada pendidikan dan penelitian, berisiko terjerumus dalam logika bisnis yang mengejar keuntungan semata.
2. Dampak Lingkungan – Tanpa regulasi ketat, eksploitasi sumber daya alam oleh perguruan tinggi bisa menyebabkan kerusakan ekologis yang serius.
3. Penyalahgunaan Izin – Tanpa pengawasan, SIUP bisa menjadi celah bagi kelompok tertentu untuk menjalankan eksploitasi tambang berkedok penelitian ilmiah.
Perguruan Tinggi dan Oligarki: Siapa yang Diuntungkan?
Sejarah industri pertambangan di Indonesia menunjukkan bahwa sektor ini kerap dikuasai oleh segelintir kelompok elit yang memiliki pengaruh besar di pemerintahan. Dengan keterlibatan perguruan tinggi, oligarki bisa mendapatkan akses lebih mudah terhadap sumber daya alam dengan dalih penelitian dan inovasi.
Jika tidak dikontrol dengan baik, perguruan tinggi bisa menjadi “kedok intelektual” bagi bisnis pertambangan besar, di mana izin yang diperoleh digunakan untuk kepentingan ekonomi semata, bukan kemajuan ilmu pengetahuan.
Kesimpulan: Kemana Arah Pendidikan Kita?
Apakah kebijakan ini benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kualitas riset dan inovasi dalam pengelolaan tambang, atau hanya sekadar cara baru bagi oligarki untuk semakin menguasai sumber daya alam Indonesia? Perguruan tinggi harus tetap menjadi lembaga yang mengutamakan kepentingan akademik dan masyarakat, bukan menjadi alat kapitalisme tersamar yang mengabaikan dampak lingkungan dan sosial.
Regulasi yang ketat, transparansi, serta keterlibatan publik dalam pengawasan kebijakan ini menjadi kunci agar pendidikan tinggi tetap berada di jalurnya—sebagai pencetak ilmu, bukan sebagai pemain bisnis tambang yang sarat kepentingan.
Penulis: BK Widhiasto (Aktivis GmnI)